Pernahkah Anda mendengar nama asy-Syaikh Ubaid bin Abdullah bin
Sulaiman al-Jabiri hafizhahullah? Sosok ulama Ahlus Sunnah yang pernah
berkunjung ke Indonesia dua tahun silam. Penampilannya sederhana, namun
memendam ilmu nan melimpah.
Alkisah, suatu pagi ada
seseorang yang menawarkan diri untuk membacakan kitab yang akan dikaji
di majelis asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah. Mendengar
permohonan tersebut, beliau hafizhahullah menjawab, “Saya adalah orang
yang diperintah.”
Beliau mengatakan demikian karena
beliau bukan orang yang memiliki kekuasaan untuk menentukan dan mengatur
acara kajian tersebut. Beliau adalah pihak yang diundang. Jadi, segala
sesuatu beliau serahkan kepada pihak penyelenggara. Demikianlah akhlak
dan adab yang bisa dipetik dari kehadiran seorang ulama Ahlus Sunnah.
Begitu tawadhu’. Begitu menghargai dan menghormati keberadaan pihak
lain.
Berinteraksi dengan ulama tak semata meraih ilmu
yang diajarkannya. Lebih dari itu, interaksi itu menjadi media
pembelajaran yang sangat berguna dari sisi bentuk amalan. Seseorang akan
langsung melihat contoh perilaku kebaikan pada diri ulama tersebut.
Berinteraksi
dengan ulama tak semata belajar mengambil ilmu, namun mengambil pula
nilai aplikatif ilmu yang diajarkan. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu
‘anhu bertutur,
كُنَّا لَا نَتَجَاوَزُ عَشْرَ آيَاتٍ
مِنْ فَمِ رَسُولِ اللهِ حَتَّى نَتَعَلَّمَ مَعْنَاهَا وَالْعَمَلَ بِهَا.
فَقَالَ :كُنَّا نَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ
“Kami
mempelajari tak lebih dari sepuluh ayat dari lisan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami mempelajari makna ayat-ayat
tersebut dan mengamalkannya.” “Kami mempelajari ilmu dan amal,” kata
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Demikian salafu
ash-shalih mengajarkan kepada kita. Sebab, sebagaimana disebutkan para
ulama, sesungguhnya buah dari ilmu adalah amal. Maka dari itu, ilmu
tanpa amal bagaikan pohon yang tiada berbuah. Karena itu, tak
mengherankan apabila ada dari kalangan salafu ash-shalih yang hidup
bersama al-Imam Ahmad rahimahullah sekadar mempelajari akhlak beliau.
Tidak menulis hadits sekian tahun, hanya mempelajari bagaimana al-Imam
Ahmad berperilaku dalam keseharian. Demikian pula yang dilakukan
Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang menghabiskan waktunya sekitar 30
tahun hanya untuk mempelajari adab.
Demikian penting
masalah aplikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari bagi
seorang muslim. Keislaman seseorang tak sekadar dinilai dari
kepiawaiannya bercakap dan memaparkan kajian. Sebab, Islam tak cukup
semata dengan retorika.
Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri
hafizhahullah mengungkapkan bahwa Yahudi disebut maghdhub ‘alaihim
(mereka dimurkai) lantaran mereka tak mau mengamalkan ilmu yang
dimilikinya. Sebaliknya, kaum Nasrani beramal, namun tidak dilandasi
oleh ilmu. Mereka beribadah didasari kejahilan dan kesesatan. (Ithafu
al-‘Uqul bi asy-Syarhi ats-Tsalati al-Ushul, hlm. 10)
Allah ‘azza wa jalla berfirman.
“Mengapa
kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu
melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah
kamu mengerti?” (Al-Baqarah: 44)
Firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Wahai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaff: 2—3)
Kelekatan
antara ilmu dan amal tiada bisa dipisahkan. Keduanya bagai keping mata
uang, tak bisa pupus salah satunya. Ketiadaan salah satuya akan membawa
konsekuensi yang amat berat bagi seorang muslim. Ia bisa terjatuh
menyerupai Yahudi atau Nasrani. Semoga Allah ‘azza wa jalla melindungi
dan menjaga kita semua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan bahwa kebaikan, kebahagiaan, kesalehan, dan
kesempurnaan disimpul dalam dua hal, yaitu pada ilmu yang bermanfaat dan
amal yang saleh. (Majmu’ Fatawa 19/169. Lihat Ma Hiya as- Salafiyyah,
asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari, hlm. 51).
Prinsip
berilmu dan beramal adalah prinsip yang diajarkan oleh salafu
ash-shalih. Siapakah salafu ash-shalih itu? Sebagaimana disebutkan oleh
hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang setelahnya,
kemudian orang-orang yang berikutnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha mengungkapkan,
أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ قَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ، ثُمَّ الثَّانِي، ثُمَّ الثَّالِثُ
“Seseorang
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah manusia
terbaik?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kurun di mana
aku berada di dalamnya. Kemudian (generasi) yang kedua. Lantas
(generasi) yang ketiga’.”
Arti Salaf
Salaf secara bahasa bermakna orang yang terdahulu. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.” (az-Zukhruf: 56)
Al-Imam
al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya (7/218) menyebutkan bahwa kata
as-salaf dalam ayat di atas bermakna orang terdahulu dari kalangan
bapak-bapak (mereka). Maknanya, Kami jadikan mereka orang-orang yang
terdahulu agar bisa memberi pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.
“…
dan (diharamkan) mengumpulkan dalam pernikahan) dua perempuan
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau (terdahulu).”
(an-Nisa’: 23)
Dalam sebuah hadits dari Aisyah
radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berbicara kepada putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha,
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh
an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarhu Shahih Muslim (16/7)
bahwa as-salaf ialah orang yang terdahulu. Makna dari pernyataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah aku adalah orang yang mendahuluimu.
Maka dari itu, dalam urusan agama lihatlah aku. Secara istilah, salaf
bisa dilihat melalui firman Allah ‘azza wa jalla,
“Orang-orang
terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang agung.” (at-Taubah:100)
Kemudian sebagaimana disebut dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang setelahnya,
kemudian orang-orang yang berikutnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha diungkapkan,
أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ قَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ، ثُمَّ الثَّانِي، ثُمَّ الثَّالِثُ
“Seseorang
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah manusia
terbaik?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ’Kurun di mana
aku berada di dalamnya. Kemudian (generasi) yang kedua. Lantas
(generasi) yang ketiga.”
Dengan pemaparan di atas, maka
tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud salafu ash-shalih adalah
orang-orang terdahulu yang saleh dari generasi utama (dalam hal) ilmu
dan iman, yaitu para sahabat dan dua generasi berikutnya. (Lihat Ma Hiya
as-Salafiyyah, asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari, hlm.
11—15)
Beragama Mengikuti Tuntunan Salaf
Saat seorang muslim shalat, salah satu yang dibaca dalam shalatnya ialah surat al-Fatihah. Ia ucapkan,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Al-Imam
Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya (1/75) dengan sanad
yang hasan, sesungguhnya Hamzah bin al-Mughirah berkata, “Aku bertanya
kepada Abul ‘Aliyah tentang firman Allah ‘azza wa jalla,
‘Tunjukillah kami jalan yang lurus.’
Abul
‘Aliyah menjawab, ‘Itu adalah (jalan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kedua sahabat sepeninggal beliau, Abu Bakr dan Umar
radhiallahu ‘anhuma.’
Lantas, Hamzah bin al-Mughirah mendatangi (dan menyampaikan hal itu) kepada al-Hasan. Jawab al-Hasan, ‘Benar’.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan
barang siapa menentang Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)
setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah
dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam,
dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ،
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ،
فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Wajib bagi kalian
berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang
mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi gerahammu.
Hendaklah kalian berhatihati dari perkara yang diada-adakan dalam agama.
Sebab, sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya dari ‘Irbadh bin Sariyyah
radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
dalam Dzammi at-Ta’wil (hlm. 7) menyebutkan, barang siapa suka menetap
bersama salaf di akhirat dan menempati kedudukan yang telah dijanjikan,
yaitu surga, hendaklah mengikuti mereka (salafu ash-shalih) dengan baik.
Barang siapa mengikuti selain jalannya, berarti ia masuk dalam keumuman
firman Allah ‘azza wa jalla di atas.”
Disebutkan lebih
lanjut, “Telah ada perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah
al-Khulafa (para pengganti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana halnya perintah untuk memegang teguh sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Telah dikabarkan pula bahwa mengada-adakan satu
perkara dalam agama adalah bid’ah dan kesesatan, sesuatu yang tidak
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tak ada sunnah
para sahabatnya.” (Lihat Ma Hiya as-Salafiyyah, hlm. 29—31)
Seorang
muslim yang menginginkan keselamatan hendaklah mengikuti apa yang telah
diajarkan dan dicontohkan oleh salafu ash-shalih. Sebab, banyak orang
dan kelompok menawarkan pemahaman agama dengan mengenakan baju Islam,
tetapi bukan pemahaman agama yang lurus. Mereka menawarkan pemahaman
agama berdasar hawa nafsu mereka.
Di antara mereka ada
yang berusaha memahami agama hanya berdasar mengikuti orang yang
ditokohkan. Sebagian lagi menawarkan agama dalam rangka mengikuti
tradisi semata, mengikuti nenek moyangnya yang menyelisihi syariat.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka
menjawab, ‘(Tidak), kami mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek
moyang kami.’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun
dan tidak mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 170)
Sebagian
mereka mengemas agamanya dengan warna akal. Segala sesuatu yang berasal
dari agama mereka selaraskan dengan akal. Sesuatu yang tak sesuai
dengan akal ditolak, walaupun itu berasal dari hadits yang sahih. Akal
dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan sesuatu itu sah atau tidak.
Padahal Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاهُ
“Seandainya
agama itu dengan akal, maka mengusap khuf (sepatu atau yang sejenis)
lebih utama diusap bagian bawah daripada (mengusap) bagian atasnya.”
(HR. Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Terkait
dengan hadits di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah
al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan, penetapan satu hukum dalam agama
tidaklah dengan akal. Sebuah hukum agama ditetapkan berlandaskan kepada
syariat. Adapun akal tidak termasuk dalam unsur yang digunakan untuk
menetapkan sebuah hukum agama. (Tashil al-Ilmam, 1/159)
Karena
itu, hendaklah seseorang senantiasa mengikuti tuntunan yang telah
diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini
sebagaimana disebutkan oleh firman Allah ‘azza wa jalla,
“Katakanlah,
jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu
dan mengampuni dosadosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Ali Imran: 31)
Mengikuti pemahaman salafu ash-shalih
dalam beragama menjadikan seorang muslim terbebas dari pemahaman yang
berdasar hawa nafsu. Ia akan mengamalkan agamanya sesuai dengan tuntunan
Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya dengan pemahaman yang benar. Ia akan
terjauhkan dari pengikut hawa nafsu dan kalangan ahlu bid’ah, seperti
kelompok sempalan Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, Islam liberal, dan yang
lainnya.
Adab Para Penyeru Dakwah Salafiyah
Di
antara adab yang harus dijunjung tinggi oleh setiap da’i Ahlus Sunnah,
selain memancangkan keikhlasan dan ittiba’ pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ialah memiliki semangat untuk menabur hidayah dan
menyampaikan agama Allah ‘azza wa jalla kepada segenap manusia. Seorang
da’i hendaklah pula senantiasa mengedepankan sikap lemah lembut. Sebab,
tiadalah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menjadikannya
indah. Sebaliknya, apabila kelemahlembutan itu tercerabut dari sesuatu,
tiada lain akan menjadikannya buruk.
Bagi yang
berdakwah, bekalilah diri dengan sikap hikmah, yaitu menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya. Lalu sampaikanlah nasihat dalam bentuk
memotivasi mengamalkan kebaikan dan memberikan peringatan untuk menjauhi
hal-hal yang dilarang oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Apabila
harus berdiskusi, hendaklah dengan cara yang baik. Demikian beberapa
arahan dari asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah. (Ithafu al-‘Uqul
hlm. 12)
Dakwah salafiyah adalah dakwah yang mulia.
Dakwah yang menyeru manusia untuk senantiasa berjalan di atas tauhid dan
memberantas kesyirikan serta menjauhi para pelaku kesyirikan. Dakwah
yang senantiasa berupaya menghidupkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam, menjauhi bid’ah dan para pelakunya. Dakwah ini merujuk kepada
kalamullah dan Rasul-Nya, bukan merujuk pada pemikiran manusia, apalagi
bersikap taklid dan ta’ashub (fanatik buta) pada seseorang. Namun,
dalam dakwah ini, seorang muslim dididik untuk senantiasa menghormati
para ulama sebagai pewaris para nabi, yang menyampaikan nilai-nilai
kebenaran sesuai dengan pemahaman salafu ash-shalih.
Barang
siapa meniti hidup ini dengan pemahaman agama yang benar, yang selaras
dengan salafu ash-shalih, ia telah menempuh jalan kebenaran. Ia menempuh
jalan keselamatan. Karena itu, orang-orang yang mengusung manhaj salaf
ini disebut pula dengan al-Firqatu an-Najiyah (kelompok yang selamat).
Kata al-Imam Muhammad bin Muslim az-Zuhri rahimahullah,
الْاِعْتِصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ
“Berpegang
teguh dengan sunnah adalah keselamatan.” (Dikeluarkan oleh ad-Darimi
dalam as-Sunan 1/44 dengan sanad yang sahih. Lihat Ma Hiya as-Salafiyyah
hlm. 61).
Allahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin dalam rublik manhaji dengan judul "Apa Itu Salafiyah?" pada http://asysyariah.com/apa-itu-salafiyah/)